Setiap tahun ada Rp 400 triliun pajak yang tidak bisa dipungut secara nasional. Akibatnya, tax ratio Indonesia masih sangat rendah. Bahkan, menduduki posisi kedua dari bawah di antara negara-negara Asean. Posisi Indonesia berada di atas Myanmar yang menjadi negara dengan tax ratio terendah di Asean.

Dirjen Pajak Kementrian Keuangan RI Sigit Priyadi, Selasa (24/11/2015) mengatakan ukuran keberhasilan pajak dilihat dari besaran tax ratio. Tax ratio dihitung dari perbandingan pajak yang dibayarkan dengan total produksi nasional. “Sekarang Indonesia hanya 11 persen, sangat kecil. Kalau di Asean kita nomor 2 dari bawah,” kata Sigit.
Negara lain memiliki tax ratio di angka 16 persen ke atas dengan angka ideal 15 persen. Salah satu penyebabnya, lanjut Sigit yaknai adanya Rp 400 triliun pajak yang tak terpungut setiap tahunnya. Padahal, pajak menjadi penyumbang APBN. “Negara lain melihat kita sebagai negara yang kurang peduli pajak. Padahal, kalau pajak naik, semua terbiayai,” lanjut Sigit.
Oleh karena itu, Ditjen Pajak bekerja sama dengan 65 kementrian dan lembaga untuk mengoptimalkan pungutan pajak ini. Tahun 2019 nanti, pemerintah menargetkan tax ratio kita mencapai 15 persen. Selain itu, pemerintah juga mulai menerapkan kebijakan yang lebih tegas dengan menyandera para wajib pajak yang menunggak.
Tahun ini, ada total 36 orang wajib pajak yang disandera karena belum melunasi tunggakan pajaknya. Dari jumlah itu, 6 orang masih disandera karena belum melunasi. “Sisanya sudah membayar,” kata Sigit.
Sementara itu, Kota Bogor pun berkeinginan untuk membangun iklim investasi yang baik dan sehat. Salah satunya dengan menerapkan sistem konfirmasi status wajib pajak. Artinya, para pengusaha yang ingin mengurus izin harus tertib pajak, baru kemudian dipermudah perizinannya. Hal ini juga dilatarbelakangi banyaknya pengusaha nakal, tidak jelas, dan bermasalah. “Sistem ini untuk memastikan rekam jejak mereka,” ujar Wali Kota Bogor Bima Arya. pastikan rekam jejak mereka.(deni)