Pembuat ChatGPT, OpenAI melaporkan temuan baru terkait dampak penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di lingkungan kerja.
Berdasarkan survei terhadap 9.000 pekerja di 100 perusahaan, teknologi AI seperti ChatGPT diklaim mampu menghemat waktu kerja 40 menit hingga satu jam per harinya.

Menurut temuan OpenAI yang dipublikasi di laporan bertajuk “2025 report: The state of enterprise AI”, karyawan yang bekerja di bidang data science, engineering, komunikasi, IT, hingga akuntansi menjadi kelompok pekerjaan yang paling banyak merasakan penghematan waktu.
Dari keseluruhan responden, tiga perempat menyebut AI membuat pekerjaan mereka lebih cepat atau meningkatkan kualitas output pekerjaan mereka.
Survei ini menilai perilaku pekerja selama tiga hingga empat minggu pertama setelah mulai memakai alat bantu AI. OpenAI menemukan bahwa pengguna yang menggunakan model AI paling canggih dan memadukan beberapa fitur sekaligus, mengalami manfaat paling besar.
Selain itu, pekerja non-teknis di divisi engineering, IT, atau riset tercatat mulai menggunakan AI untuk melakukan tugas baru, termasuk coding.
Dalam enam bulan terakhir, terjadi peningkatan 36 persen pesan terkait coding dari pekerja yang sebelumnya tidak melakukan tugas tersebut.
Menurut Ronnie Chatterji, Chief Economist OpenAI, perubahan ini bukan hanya tentang kecepatan kerja, tetapi juga membuka kemampuan baru bagi pekerja.
“Tiga dari empat orang sekarang berkata, ‘Saya bisa melakukan hal yang dulu tidak bisa saya lakukan,’” kata Chatterji.
“Ini sering kali terlewat dalam diskusi tentang AI dan pekerjaan,” lanjut dia.
Muncul di tengah isu AI Bubble
Temuan OpenAI muncul di saat para peneliti dan ekonom masih memperdebatkan sejauh mana AI benar-benar meningkatkan produktivitas manusia.
Pada Agustus lalu, peneliti MIT (Massachusetts Institute of Technology) menemukan bahwa mayoritas perusahaan belum melihat (0 persen) pengembalian investasi atau dampak langsung yang signifikan dari proyek AI generatif.
Sebulan kemudian, peneliti Harvard dan Stanford menyebut sebagian penggunaan AI justru memunculkan “workslop”, istilah untuk output kerja bikinan AI yang tampak bagus/rapi tetapi sebenarnya tidak memiliki substansi atau nilai tambah.
Temuan-temuan tersebut memicu kekhawatiran bahwa industri sedang memasuki fase AI bubble, di mana adopsi AI yang masif tidak sebanding dengan hasil nyatanya. Menanggapi hal ini, OpenAI menilai kondisi di lapangan berbeda.
“Banyak studi tidak sejalan dengan apa yang kami lihat dalam praktik,” ujar Brad Lightcap, Chief Operating Officer OpenAI, sebagaimana dikutip KompasTekno dari Bloomberg.
Menurut Lightcap, adopsi AI di perusahaan justru meningkat cepat, bahkan setara atau lebih cepat dari adopsi oleh konsumen umum.
Dalam laporan yang sama, OpenAI menyebut sudah ada lebih dari 1 juta bisnis yang membayar layanan AI bikinannya. Jika diakumulasikan, OpenAI mengeklaim ada 7 juta pekerja yang memakai produk ChatGPT versi enterprise di tempat kerja, setidaknya hingga saat ini.
Sumber: kompas,com














