Air minum yang dikelola oleh Perumda Tirta Pakuan Kota Bogor tidak sembarangan didistribusikan ke pelanggannya di Kota Bogor. BUMD milik Pemkot Bogor ini terlebih dahulu melakukan tahapan uji klinis di Instalasi Pengolahan Air (IPA) sebelum mendistribusikan air ke pelanggan.
Demikian dikatakan Dirtek Perumda Tirta Pakuan Ardani Yusuf. Menurutnyan IPA ini digunakan untuk menyaring air lebih bersih supaya bisa dikonsumsi seluruh pelanggannya.IPA terdiri dari berbagai unit, intake, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan desinfeksi.

Flokulasi, sambungnya, merupakan salah satu cara pengolahan limbah cair untuk menghilangkan partikel-partikel yang terdapat di dalamnya. Sedangkan koagulasi diartikan sebagai proses kimia fisik dari pencampuran bahan koagulan ke dalam aliran limbah dan selanjutnya diaduk cepat dalam bentuk larutan tercampur.
”Keunggulannya adalah untuk pengolahan permukaan air yang keruh,” kata Dirtek.
Ardani menambahkan, unit tersebut terbagi atas IPA Dekeng 1.000 l/det Zona 4 dan IPA Katulampa 300 l/det Zona 7. ”Termasuk IPA Cipaku 300 l/det pada Zona 3, IPA Rancamaya 35 l/det Zona 1, dan IPA Palasari 50 l/det Zona 5,” jelas dia.
Ardani menuturkan, IPA tersebut merupakan bangunan untuk mengolah permukaan air keruh agar jernih dan kemudian disalurkan (dialirkan, red) masuk melalui intake untuk ditampung terlebih dahulu sebelum diolah.
”Untuk unit koagulasi yaitu proses pertama air baku, pemberian kimia Poly Alumunium Chloride atau PAC yang dicampurkan ke air baku,” ujarnya.
Selanjutnya, masuk ke unit flokuasi, air baku akan membentuk gumpalan yang mulai terpisah antara lumpur dengan air. Kemudian pada unit sendimental, gumpalan lumpur sudah benar-benar terpisah dengan air, dan air naik ke permukaan.
”Untuk filterasi, air yang sudah bersih disaring kembali menggunakan pasir kuarsa, sehingga bisa menghasilkan air yang maksimal,” tandasnya.
”Sedangkan pada tahap akhir yaitu proses desinfeksi yakni pembunuhan kuman dan bakteri, juga adanya proses sempling laboraturium,” tutup dia.
penulis pratama/rls
editor Aldho Herman