Mentawai – Indonesia adalah surga bagi keanekaragaman hayati, termasuk berbagai jenis primata yang hanya bisa ditemukan di Nusantara. Salah satu yang jarang dikenal namun sangat penting adalah simakobu.
Meski tidak sepopuler orangutan atau bekantan, simakobu memiliki nilai ekologis dan taksonomi yang sangat tinggi. Sayangnya, primata endemik Indonesia ini kini berada dalam ancaman serius kepunahan.

Simakobu berasal dari Kepulauan Mentawai
Simakobu berasal dari Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dengan sebaran populasi terbesar di Pulau Siberut.
Habitatnya meliputi hutan hujan dataran rendah, hutan rawa air tawar dan payau, hingga lereng bukit yang masih lebat dengan vegetasi.
Dilansir dari situs resmi Taman Nasional Siberut, simakobu adalah salah satu dari empat primata endemik yang hanya ada di Pulau Siberut.
Keunikan simakobu juga terletak pada status taksonominya. Hewan ini merupakan spesies monoleptik, artinya hanya ada satu jenis dalam genusnya (Simias concolor).
Tidak ada “saudara dekat” yang menyertainya, sehingga simakobu menjadi sangat berharga dalam dunia primatologi.
Ciri fisik simakobu yang khas
Ciri fisik simakobu membuatnya mudah dikenali. Menurut Febriani Alexsin dalam Perancangan Kampanye Sosial untuk Tidak Membeli Primata Langka Asli Indonesia yang Terancam Punah (2021), tubuhnya berukuran sedang dengan panjang sekitar 45–52,5 cm dan berat 6–9 kg.
Posturnya cenderung pendek dan gemuk, ditutupi bulu berwarna cokelat kehitaman, dengan wajah gelap, dan ekor melingkar pendek menyerupai ekor babi.
Bentuk ekornya yang unik ini pula yang membuatnya mendapat sebutan lain yaitu pig tail monkey.
Selain itu, hidung simakobu pesek dan tumpul, mirip dengan monyet berhidung pesek (Rhinopithecus) di Cina dan Vietnam.
Kombinasi bentuk tubuh, ekor, dan wajah inilah yang membuatnya berbeda dari primata lain seperti bekantan yang berhidung panjang.
Kehidupan sosial simakobu
Simakobu hidup dalam kelompok kecil yang biasanya terdiri dari satu pejantan dewasa, satu atau beberapa betina, dan anak-anaknya.
Pola sosial ini membuat simakobu rentan terhadap perburuan, karena satu kelompok bisa hilang hanya dengan ditangkapnya seekor pejantan.
Menariknya, tidak seperti primata lain yang cepat melarikan diri saat melihat manusia, simakobu justru cenderung ingin melihat sumber ancaman. Sifat “penasaran” inilah yang ironisnya membuat mereka lebih mudah diburu.
Pola makan dan sistem pencernaan yang unik
Dalam hal pakan, simakobu tergolong primata folivorus atau pemakan daun.
Menurut Nurul Silva Lestari dan Wendy Erb dalam Identifikasi Jenis dan Komposisi Tumbuhan Pakan Simakobu (Simias concolor) di Siberut Utara, Kepulauan Mentawai (2015), daun muda menjadi makanan favorit karena lebih mudah dicerna, memiliki kadar air tinggi, serta kaya nutrisi.
Selain daun, simakobu juga memakan bunga dan buah, meski dalam porsi lebih kecil.
Beberapa jenis tumbuhan yang sering dimanfaatkan adalah katatairek (Bhesa paniculata), logauna (Knema sumatrana), dan ungla (Aporosa symplocoides).
Menariknya, simakobu tidak selalu mengonsumsi semua bagian tanaman; ada yang hanya dimakan bunganya, ada pula yang hanya daunnya.
Variasi ini menunjukkan kemampuan adaptasi dalam memenuhi kebutuhan gizi sepanjang musim.
Sistem pencernaan simakobu sangat kompleks karena memiliki lambung dengan beberapa bagian yang memungkinkan fermentasi dedaunan.
Namun, mekanisme ini membuatnya tidak bisa mencerna buah manis dengan baik.
Jika simakobu mengonsumsi buah tinggi gula, fermentasi terjadi terlalu cepat sehingga menghasilkan gas berlebih di perut.
Simakobu berada di ambang kepunahan
Menurut IUCN Red List, simakobu masuk kategori critically endangered atau sangat terancam punah. Bahkan, ia termasuk dalam daftar 25 jenis primata paling terancam di dunia.
Beberapa faktor yang menyebabkan populasinya menurun drastis antara lain:
Perburuan liar: masyarakat tradisional masih memburu simakobu sebagai sumber protein. Sifatnya yang tidak takut manusia membuat perburuan semakin mudah.
Alih fungsi lahan: hutan habitat simakobu banyak dikonversi menjadi kebun kelapa sawit atau ladang masyarakat.
Logging dan pembangunan jalan: membuka akses baru ke hutan, sehingga mempercepat laju perburuan.
Bahkan, hasil pengamatan menunjukkan tengkorak simakobu sering ditemukan sebagai hiasan di pondok-pondok masyarakat adat.
Meski kondisinya kritis, harapan untuk simakobu belum sepenuhnya hilang. Taman Nasional Siberut yang memiliki luas 190.500 hektar kini menjadi benteng terakhir bagi kelestarian simakobu.
Ekosistem hutan primer yang masih terjaga di kawasan ini sangat penting sebagai habitat alami mereka.
UNESCO bahkan telah menetapkan Siberut sebagai zona inti Cagar Biosfer, menegaskan pentingnya kawasan ini dalam menjaga keberlangsungan satwa langka.
Upaya konservasi yang terintegrasi antara pemerintah, peneliti, dan masyarakat lokal menjadi kunci untuk menyelamatkan simakobu dari ancaman kepunahan.
Dengan segala keunikan morfologi, perilaku, dan status taksonominya, simakobu bukan hanya sekadar primata endemik Indonesia, tetapi juga bagian penting dari kekayaan hayati dunia.
Menjaga simakobu sama artinya dengan menjaga warisan alam Indonesia untuk generasi mendatang.
Sumber: kompas.com









