Saat banyak eksekutif Silicon Valley tetap berjibaku hingga larut malam, Marc Randolph, salah satu pendiri Netflix, memilih jalan berbeda.
Selama lebih dari tiga dekade (30 tahun), ia punya satu aturan teguh, setiap hari Selasa tepat pukul 17.00, ia menghentikan semua aktivitas kerja, tanpa pengecualian.

“Selama lebih dari tiga puluh tahun, saya memiliki batas waktu yang ketat pada hari Selasa. Hujan atau cerah, saya pulang tepat pukul 5 sore dan menghabiskan malam bersama sahabat terbaik saya. Kami akan menonton film, makan malam, atau sekadar berbelanja di pusat kota bersama,” kata Randolph.
“Tidak ada panggilan penting, rapat mendadak, atau krisis yang bisa mengganggu ritual ini,” lanjutnya dilansir The Eonomic Times.
Bagi Randolph, momen Selasa petang bukan soal “me time” sesaat, melainkan blok “waktu suci” yang didedikasikan bagi hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, seperti membangun startup, membaca data-data pengguna atau rekomendsi algoritma.
Ia mengatakan, “Selasa malam itu membuat saya tetap waras, dan membantu saya menyelesaikan sisa pekerjaan.”
Ritual ini mungkin terdengar sederhana, tetapi bagi banyak pemimpin perusahaan di era “grind culture” yang menganggap sukses wajib berkorban siang-malam.
Langkah Randolph menawarkan refleksi alternatif, bahwa pertumbuhan bisnis tidak selalu harus sejajar dengan kelelahan. Ia mengingatkan bahwa menjaga keseimbangan bukan sekadar slogan, melainkan tindakan nyata yang berulang saban minggu.
Randolph memulai kariernya dengan Netflix saat perusahaan masih menyewakan DVD dan belum menjadi raksasa streaming.
Di tengah tekanan membangun model bisnis disruptif, ia tetap mempertahankan batasan waktu kerja Selasa pukul 17.00 sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu.
Dalam sebuah sesi tanya jawab, ia pernah berujar bahwa jika ada masalah pada Selasa sore, maka harus diselesaikan sebelum jam lima.
“Tidak ada rapat, tidak ada panggilan konferensi, tidak ada pertanyaan atau permintaan mendadak… Jika ada krisis, kami akan menyelesaikannya sebelum pukul 5:00 (sore),” ujarnya dilansir Financial Express.
Kebiasaan ini bukan hanya soal cut-off waktu, tapi juga menunjukkan nilai yang ia pegang, bahwa hubungan pribadi, istirahat, dan pemulihan mental sama pentingnya dengan rapat dan pivot bisnis.
Berbeda dengan Randolph, sejumlah tokoh teknologi memilih jalur ekstrem. Lucy Guo dari Scale AI, misalnya, dikenal bekerja lebih dari 90 jam per minggu dengan keyakinan bahwa hasil luar biasa hanya datang dari dedikasi tanpa batas.
Andrew Feldman, pendiri produsen chip AI Cerebras, bahkan menilai konsep work-life balance tidak relevan bagi mereka yang mengejar performa puncak.
Di sisi lain, suara berbeda datang dari para tokoh senior industri. Jamie Dimon dari JPMorgan menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental dan fisik sebagai bagian dari perjalanan karier jangka panjang.
CEO Whole Foods, Jason Buechel, juga menerapkan batas kerja yang jelas dan mendorong karyawan menggunakan cuti berbayar sepenuhnya, sebagai upaya memastikan produktivitas tidak harus dibeli dengan kelelahan.
Saat sebagian besar pemimpin menjual narasi tidur lima jam atau “grind nonstop,” Randolph memilih membuktikan bahwa ia bisa sukses tanpa korbankan kesehatan dan kebahagiaan pribadi.
Sumber: kompas.com














