Perang dagang antara Amerika Serikat dan China masih memanas. Setelah Washington memperketat pembatasan ekspor chip canggih ke Beijing, kini China balik menyerang dengan menargetkan dua raksasa semikonduktor asal AS, yakni Qualcomm dan Nvidia.
Menurut laporan The Wall Street Journal, badan pengawas pasar China, State Administration for Market Regulation (SAMR), meluncurkan penyelidikan terhadap Qualcomm atas dugaan pelanggaran undang-undang antimonopoli China.

Investigasi ini terkait akuisisi Qualcomm terhadap Autotalks, perusahaan chip asal Israel yang bergerak di bidang komunikasi mobil otonom.
Menurut regulator, Qualcomm tidak melaporkan secara resmi bagaimana akuisisi itu bisa memengaruhi persaingan pasar chip di China.
Setelah sempat mundur dari kesepakatan pada 2024, Qualcomm akhirnya menyelesaikan akuisisi tersebut pada Juni 2025, sebagai bagian dari upayanya memperkuat bisnis chip otomotif dan komunikasi kendaraan.
Qualcomm mengatakan pihaknya bekerja sama penuh dengan otoritas China, seraya menegaskan komitmen untuk mendukung pertumbuhan mitra dan pelanggan lokal.
Bagi Qualcomm, ini bukan kali pertama berhadapan dengan regulator China. Pada 2015, perusahaan asal San Diego, California itu pernah didenda 975 juta dollar AS (sekitar Rp 15,5 triliun) karena dianggap melanggar aturan persaingan usaha dan diminta mengubah sistem lisensi patennya di China.
Pada 2018, China juga menahan persetujuan akuisisi Qualcomm terhadap perusahaan Belanda, NXP Semiconductors, hingga akhirnya kesepakatan itu dibatalkan. Kejadian itu terjadi di tengah panasnya hubungan dagang AS-China selama masa jabatan pertama Presiden Donald Trump.
Meski hubungannya kerap tegang, Qualcomm tetap menjaga komunikasi dengan China. CEO Qualcomm, Cristiano Amon, bahkan dua tahun berturut-turut diundang langsung oleh Presiden Xi Jinping untuk menghadiri forum tahunan yang mempertemukan pejabat tinggi China dengan para pemimpin perusahaan asing.
Pembuat chip smartphone dan otomotif ini memang bergantung pada pasar China untuk bisnisnya. Pasalnya, sekitar hampir separuh pendapatan global Qualcomm berasal dari Negeri Tirai Bambu.
Nvidia juga jadi target
Tak hanya Qualcomm, China juga mulai memeriksa impor chip Nvidia, perusahaan chip raksasa yang mendominasi pasar semikonduktor global.
Pada September lalu, State Administration for Market Regulation menyatakan bahwa hasil penyelidikan awal menunjukkan Nvidia melanggar hukum antimonopoli China dalam akuisisinya terhadap Mellanox Technologies, perusahaan asal Israel yang diakusisi Nvidia pada 2020 untuk memperkuat bisnis data center.
Pernyataan tersebut kemudian diperkuat dengan langkah baru dari pemerintah China bulan ini, yang meluncurkan penyelidikan lanjutan terhadap Nvidia.
Menurut laporan Financial Times, otoritas China kini memperketat pengawasan terhadap impor chip Nvidia, dan bahkan menempatkan tim tambahan bea cukai di berbagai pelabuhan besar untuk memeriksa setiap pengiriman chip asal AS.
Dalam beberapa minggu terakhir, China dilaporkan semakin agresif menekan impor chip dari Nvidia yang dipimpin CEO Jensen Huang.
Langkah ini termasuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk berhenti membeli chip Nvidia , bahkan untuk versi yang sudah disesuaikan agar lolos dari pembatasan ekspor AS, seperti H20 dan RTX Pro 6000D.
Langkah ini mempertegas niat Beijing untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi Amerika dan mempercepat pengembangan chip buatan lokal untuk mendukung industri kecerdasan buatan (AI).
Sejak 2022, Amerika Serikat gencar membatasi ekspor chip canggih dan alat pembuat chip ke China. Tujuannya untuk mencegah Beijing mengembangkan teknologi AI dan militer canggih yang bisa menyaingi AS.
Serangan China lainnya
Serangan ke dua perusahaan chip raksasa AS ini bukan langkah tunggal. Dalam dua hari terakhir, China meluncurkan sederet kebijakan baru yang dinilai sebagai pukulan balik terhadap AS.
Misalnya, China mengumumkan pengenaan biaya tambahan untuk kapal milik perusahaan atau kapal berbendera Amerika Serikat yang berlabuh di pelabuhan China. Kebijakan ini akan berlaku mulai 14 Oktober 2025.
Menurut Kementerian Transportasi China, kebijakan ini merupakan tindakan balasan langsung terhadap keputusan pemerintah AS yang lebih dulu memberlakukan tarif baru untuk kapal China di pelabuhan Amerika.
Tak berhenti di situ, China juga mewajibkan izin ekspor untuk sejumlah jenis baterai litium dan bahan baku semikonduktor tertentu.
Kebijakan ini dinilai bisa memperlambat pasokan global dan menekan industri teknologi Amerika Serikat, yang sangat bergantung pada bahan-bahan dari China untuk produksi chip dan baterai, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari The Wall Street Journal, Senin (13/10/2025).
Sumber: kompas.com