Menu

Dark Mode
Remaja Australia Didepak dari Medsos, PM: Baca Buku Saja Awal Revolusi AI: Server Nvidia Tak Laku, Elon Musk Beli dan Ubah Sejarah Studi OpenAI: AI Bisa Hemat Waktu Kerja Hingga Satu Jam per Hari “Stecu Stecu” Masuk Top 10 Lagu TikTok Global 2025, Satu-satunya dari Indonesia Peringati Hakordia, BPJS Ketenagakerjaan Cabang Menara Jamsostek Gelar Deklarasi Komitmen Anti Korupsi Layanan Pencuci Uang CryptoMixer Digerebek, Polisi Sita Bitcoin Rp 3 Triliun

Kabar Lifestyle

Awal Revolusi AI: Server Nvidia Tak Laku, Elon Musk Beli dan Ubah Sejarah

badge-check


					Serah terima unit DGX-1 dari Jensen Huang ke Elon Musk pada 2016 yang kemudian menjadi titik balik sejarah teknologi modern. Mesin yang diantar CEO Nvidia itu digunakan oleh tim OpenAI untuk melatih model-model kecerdasan buatan awal mereka. (foto: wccftech) Perbesar

Serah terima unit DGX-1 dari Jensen Huang ke Elon Musk pada 2016 yang kemudian menjadi titik balik sejarah teknologi modern. Mesin yang diantar CEO Nvidia itu digunakan oleh tim OpenAI untuk melatih model-model kecerdasan buatan awal mereka. (foto: wccftech)

Jauh sebelum dunia berebut chip AI seperti sekarang, Nvidia ternyata pernah mengalami masa-masa sulit dalam memasarkan mesin kecerdasan buatan pertamanya. 

CEO Nvidia, Jensen Huang, baru-baru ini mengungkap sebuah fakta mengejutkan, superkomputer AI pertama buatan mereka, DGX-1, awalnya sama sekali tidak dilirik pasar.

Ia menceritakan bagaimana Nvidia menghabiskan miliaran dolar untuk riset dan pengembangan sistem AI pertama tersebut. Namun, ketika produk itu siap dipasarkan, respons dunia justru hening. 

“Ketika saya mengumumkan DGX-1, tidak ada satu orang pun di dunia yang menginginkannya,” aku Jensen dengan nada getir.

Ia melanjutkan, “Saya tidak mendapatkan satu pun pesanan pembelian. Tidak ada yang mau membelinya. Tidak ada yang mau menjadi bagian dari (proyek) itu.”

Elon Musk jadi penyelamat 

Di tengah kebuntuan tersebut, muncul satu sosok yang melihat potensi mesin itu, Elon Musk. 

Saat itu, tahun 2016, Musk belum menjadi pemilik X (Twitter) seperti sekarang, tapi ia sudah memimpin Tesla dan ikut mendirikan sebuah organisasi nirlaba kecil bernama OpenAI.  

Menurut Jensen, Musk adalah satu-satunya orang yang tertarik ketika industri lain skeptis terhadap komputasi AI. 

“Dia (Elon) bilang, ‘Tahu tidak, saya punya perusahaan yang sepertinya bisa benar-benar menggunakan alat ini,'” kenang Jensen menirukan ucapan Musk. 

Elon menjelaskan bahwa ia memiliki perusahaan AI berstatus non-profit yang sangat membutuhkan tenaga komputasi super besar. Tanpa pikir panjang, Jensen langsung menyambut “pelanggan pertama”-nya itu dengan antusiasme tinggi. 

Saking berharganya unit pertama tersebut, Jensen tidak mengirimnya lewat jasa layanan kurir. Ia membungkus sendiri superkomputer DGX-1 itu, memasukkannya ke dalam mobil, dan menyetirnya sendiri menuju kantor Elon Musk. 

“Saya membungkus satu unit, saya menyetir ke San Francisco, dan saya mengantarkannya langsung ke Elon pada tahun 2016,” cerita Jensen, seperti dikutip KompasTekno dari Wccftech.

Serah terima unit DGX-1 inilah yang kemudian menjadi titik balik sejarah teknologi modern. Mesin yang diantar Jensen itu digunakan oleh tim OpenAI untuk melatih model-model kecerdasan buatan awal mereka.

Bisa dibilang, tanpa transaksi nekat Elon Musk saat itu, revolusi AI yang melahirkan ChatGPT mungkin akan tidak pernah ada atau berjalan dengan cerita yang sama sekali berbeda. 

Ironi pasar masa lalu vs sekarang 

Pengakuan Jensen ini menyoroti ironi yang tajam. Pada 2016, dunia komputasi masih terobsesi pada beban kerja berbasis CPU (Central Processing Unit), sehingga mesin super mahal berbasis GPU seperti DGX-1 dianggap aneh dan tidak relevan. 

Namun, visi Elon Musk saat itu terbukti tepat. Adopsi awal oleh OpenAI menjadi validasi krusial bahwa portofolio komputasi Nvidia sangat cocok untuk pusat data AI. 

Kini, situasinya berbalik 180 derajat. Nvidia tidak lagi memohon orang untuk membeli. Sebaliknya, raksasa teknologi dunia harus mengantre panjang demi mendapatkan pasokan chip AI terbaru mereka.

Bahkan, Jensen menyebut permintaan infrastruktur AI saat ini sedang berada di puncaknya.

Kisah “jualan yang tak laku” ini menjadi pengingat bahwa di balik valuasi triliunan dolar Nvidia hari ini, ada masa di mana hanya satu orang “gila” yang percaya pada visi mereka.

Sumber: kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Remaja Australia Didepak dari Medsos, PM: Baca Buku Saja

10 December 2025 - 23:58 WIB

Studi OpenAI: AI Bisa Hemat Waktu Kerja Hingga Satu Jam per Hari

10 December 2025 - 23:39 WIB

“Stecu Stecu” Masuk Top 10 Lagu TikTok Global 2025, Satu-satunya dari Indonesia

10 December 2025 - 23:28 WIB

Layanan Pencuci Uang CryptoMixer Digerebek, Polisi Sita Bitcoin Rp 3 Triliun

9 December 2025 - 07:46 WIB

Bos ChatGPT Bidik Perusahaan Roket, Mau Tantang SpaceX Elon Musk?

9 December 2025 - 07:41 WIB

Trending on Kabar Lifestyle