Menu

Dark Mode
 Kodim 0606/Kota Bogor, PT. Adev dan Tazkia Sebar 1.000 Sembako Satu Emas 3 Perunggu Diborong Atlet Tarung Derajat Kota Bogor Instagram Tembus 3 Miliar Pengguna Aktif, Saingi WhatsApp Bunga yang Cocok untuk 12 Zodiak, Aries Bunga Tulip Kenali Jasa Gue Temenin Jalan, Bisa Temani Ngopi, Kondangan, hingga Curhat Riset Harvard Ungkap Dampak Negatif AI, Pekerja Terjebak “Workslop”

Kabar Lifestyle

Riset Harvard Ungkap Dampak Negatif AI, Pekerja Terjebak “Workslop”

badge-check


					Ilustrasi kecerdasan buatan.(Foto: SAP) Perbesar

Ilustrasi kecerdasan buatan.(Foto: SAP)

Alih-alih mempercepat pekerjaan, banjir konten hasil kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) generatif, seperti ChatGPT atau Gemini, justru mulai menimbulkan persoalan baru. 

Fenomena yang kini populer disebut “AI slop” atau “workslop”, campuran antara work (pekerjaan) dan slop (sampah). 

Istilah workslop muncul untuk menggambarkan ledakan konten dangkal yang membebani alur kerja.

Bila dulu pekerja dihadapkan pada tantangan kurangnya informasi, kini masalah bergeser menjadi sebaliknya, terlalu banyak informasi, tapi minim nilai.

Situasi ini diamati dalam laporan riset Harvard Business Review (HBR) bersama Stanford dan BetterUp yang menyoroti dampak “ledakan konten AI” terhadap produktivitas organisasi modern. 

Sejak kehadirannya, teknologi generatif AI, mulai dari teks, gambar, hingga video, dijanjikan sebagai terobosan. Dengan sekali perintah, ribuan kata bisa tersusun. Ide visual tercipta dalam hitungan detik.

Namun, realitas di lapangan tidak sesederhana itu. Konten yang lahir tanpa penyaringan kualitas justru menambah pekerjaan. 

Alih-alih menghemat waktu, banyak karyawan kini terjebak memilah-milah mana informasi yang relevan, akurat, dan layak dipakai. 

“Yang awalnya ditujukan untuk membantu, kini malah menghambat,” tulis HBR dalam laman HBR.org, seperti dikutip KompasTekno, Kamis (25/9/2025). 

Kondisi ini diibaratkan seperti bekerja di kantor dengan tumpukan memo tak berguna menumpuk di meja setiap pagi. Sebelum masuk ke inti pekerjaan, tenaga terkuras hanya untuk membersihkan meja dari kertas-kertas tidak penting.

Dari luar, dokumen yang dihasilkan AI sering tampak rapi dan menjanjikan. Tetapi begitu dibuka, pembacanya dibuat mengernyit. 

“Apa, sih, maksudnya?” menjadi pertanyaan pertama, sebelum akhirnya pembaca mengutuk waktu yang terbuang hanya untuk memahami maksud sebenarnya. 

Fenomena ini bukan sekadar cerita sepele di meja kerja.

Penelitian dari Stanford Social Media Lab dan BetterUp Labs menyebutkan, 40 persen pekerja profesional di Amerika Serikat mengaku pernah menerima konten seperti itu dalam sebulan terakhir. Kondisi inilah, yang disebut para peneliti, sebagai workslop.

Berbeda dari kekhawatiran lama tentang mesin yang menggantikan manusia, workslop justru menandai era ketika mesin digunakan manusia untuk “melempar” pekerjaan, dan beban kognitifnya, kepada rekan kerja.

Hasilnya, dokumen, laporan, atau presentasi yang terlihat meyakinkan, tapi miskin konteks dan tak membantu menyelesaikan masalah.

Terlalu cepat pakai AI 

Fenomena workslop memunculkan biaya tersembunyi. Jam kerja karyawan habis membaca laporan yang panjang tetapi miskin wawasan. 

Manajer harus melakukan verifikasi berlapis karena takut data palsu ikut terselip. Menurut pengamatan konsultan manajemen, pola ini menurunkan produktivitas tim dalam dua arah. 

Pertama, waktu hilang untuk memilah dan memverifikasi. Kedua, kualitas keputusan melemah sebab materi yang dipakai sering dangkal atau bias.

Setiap satu kasus workslop, menurut survei Stanford–BetterUp, menghabiskan satu hingga dua jam untuk diperbaiki atau ditulis ulang.

Jika dihitung secara ekonomi, perusahaan dengan 10.000 karyawan bisa kehilangan lebih dari 9 juta dollar AS per tahun karena limbah digital ini.

Organisasi yang terlalu cepat mengadopsi AI tanpa strategi menghadapi “biaya kebisingan”. Sumber daya manusia tersandera derasnya output mesin, bukan terbebas karenanya. 

Selain persoalan efisiensi, workslop juga membawa dampak psikologis. Karyawan merasa terhimpit ekspektasi agar selalu cepat menanggapi aliran informasi, meski sebagian besar tak berguna. 

Akibatnya, muncul frustrasi dan kelelahan mental. Seorang analis keuangan mengaku harus menghabiskan hampir separuh waktunya memverifikasi laporan otomatis yang dikirim sistem.

“Seperti membaca makalah mahasiswa tingkat awal setiap hari. Panjang, tapi isinya tipis,” ujarnya. 

Karyawan yang menerima workslop juga merasa kesal, bingung, bahkan tersinggung. Satu dari tiga responden survei mengaku tak ingin lagi bekerja dengan rekan yang mengirim workslop. 

Efeknya merusak kolaborasi, mengikis kepercayaan, dan melemahkan etos kerja tim. 

Survei Stanford–BetterUp juga menunjukkan, rekan kerja yang pernah mengirim workslop dinilai kurang kreatif, kurang dapat diandalkan, bahkan kurang cerdas. 

Kepercayaan runtuh, ibarat presentasi PowerPoint penuh jargon tetapi “kosong”.

Laporan HBR menekankan, dampak terbesar workslop adalah turunnya produktivitas sistemik. Meski jumlah dokumen, memo, dan presentasi meningkat, kualitas keputusan tidak bertambah baik.

“Volume konten tidak otomatis berarti kualitas. Tanpa kurasi, organisasi hanya menukar efisiensi dengan banjir informasi,” demikian catatan HBR. 

Perusahaan yang semula berharap bisa memangkas waktu produksi materi, justru mendapati rapat makin panjang. Para manajer harus menghabiskan waktu ekstra untuk menyingkirkan lapisan informasi palsu sebelum sampai ke inti masalah.

Ibarat pilot dan penumpang 

Peneliti dari Harvard dan BetterUp Labs menyebut adanya dua tipe pengguna AI di tempat kerja: penumpang dan pilot. 

Penumpang cenderung menggunakan AI sebagai cara cepat untuk menyelesaikan tugas, tanpa mempertimbangkan konteks, kualitas, atau dampaknya terhadap rekan kerja.

Outputnya sering kali terlihat rapi di permukaan, tetapi miskin substansi.

Mereka memakai AI untuk menghindari berpikir panjang, dan justru menambah beban tim dengan hasil yang membingungkan atau harus diulang.

Sebaliknya, pilot menggunakan AI secara aktif dan terarah. Mereka tidak sekadar mengandalkan hasil mentah dari mesin, tapi memberi prompt dengan konteks yang jelas, meninjau ulang outputnya, lalu memilih bagian yang benar-benar berguna. 

AI bagi mereka adalah alat bantu, bukan tongkat ajaib. Hasil akhirnya bukan hanya menyelesaikan pekerjaan, tapi juga menjaga mutu dan kepercayaan dalam kolaborasi tim.

“Workslop mudah dibuat, tapi mahal untuk dibersihkan. Apa yang dikira jalan pintas, justru menjadi jalan buntu bagi tim,” tulis BetterUp. 

Fenomena ini menandai pergeseran tantangan organisasi modern. Jika pada dekade lalu fokus utama adalah mempercepat akses informasi, kini tantangannya memastikan kualitas informasi untuk pengambilan keputusan. 

AI generatif membawa kekuatan besar, tetapi tanpa kendali ia juga menghasilkan residu dalam jumlah sama besar. 

Dalam jangka panjang, hal ini merusak daya saing. Organisasi sibuk dengan tumpukan “sampah digital”, sementara pesaing yang lebih selektif bisa melangkah lebih jauh.

Solusi awal, menurut pakar, adalah memperkuat kurasi internal dan literasi digital. Karyawan perlu memahami batas AI, bukan hanya cara memakainya. 

Perusahaan harus menetapkan standar kualitas, setiap dokumen otomatis mesti diverifikasi manusia sebelum dipakai untuk rapat strategis. 

AI harus diposisikan sebagai rekan, bukan perisai dari tanggung jawab. Prompt, revisi, dan diskusi atas hasil AI harus menjadi ruang kerja bersama.

“Teknologi seharusnya menjadi asisten, bukan bos yang membanjiri,” tulis HBR. 

Perdebatan tentang manfaat dan risiko AI generatif masih panjang. Namun, satu hal yang jelas, volume semata tak bisa dijadikan tolok ukur produktivitas.

Organisasi yang ingin bertahan perlu melampaui euforia “lebih banyak, lebih cepat”. Yang dibutuhkan justru kebijaksanaan memilih dan menyaring. 

Tanpa itu, janji efisiensi AI bisa berubah menjadi jebakan. Pekerja bukan terbebas dari tugas rutin, melainkan tenggelam dalam lautan konten yang tampak canggih, tetapi sesungguhnya hampa.

Sumber: kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Instagram Tembus 3 Miliar Pengguna Aktif, Saingi WhatsApp

25 September 2025 - 11:56 WIB

Bunga yang Cocok untuk 12 Zodiak, Aries Bunga Tulip

25 September 2025 - 11:47 WIB

Kenali Jasa Gue Temenin Jalan, Bisa Temani Ngopi, Kondangan, hingga Curhat

25 September 2025 - 11:30 WIB

WhatsApp Rilis Fitur Translate, Chat Berbahasa Asing Bisa Diterjemahkan Langsung

25 September 2025 - 11:01 WIB

Kapal Induk China Sukses Uji Luncur Jet Tempur dengan Ketapel Elektromagnetik

24 September 2025 - 11:47 WIB

Trending on Kabar Dunia