Fenomena “marriage is scary” alias takut untuk menikah semakin ramai dibicarakan oleh anak-anak muda, baik di media sosial maupun dalam obrolan sehari-hari.
Sosiolog sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Dr. Mustaghfiroh Rahayu, M.A menjelaskan, ada berbagai faktor mengapa fenomena itu semakin mencuat.

Penyebab munculnya fenomena “marriage is scary”
1. Berani speak up
Sifat berani speak up yang dimiliki seseorang ternyata berperan dalam memperkuat narasi tentang pernikahan adalah sesuatu yang menyeramkan.
“Ketika perempuan berani speak up terhadap berbagai perlakuan, misalnya dikasih nafkah yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Saat ini perempuan bisa protes pada suaminya,” ujar dia saat dihubungi pada Jumat (12/9/2025).
Saat ini, lebih banyak perempuan lebih sadar akan haknya dalam berumah tangga dan juga lebih leluasa dalam mengungkapkan pendapatnya.
Dahulu pun ada perempuan yang sudah sadar akan haknya dan leluasa dalam beropini, meskipun jumlahnya mungkin tidak sebanyak saat ini.
Ketika apa yang sudah menjadi haknya tidak terpenuhi, tidak jarang perempuan akan mengungkapkannya kepada suaminya. Hal serupa juga bisa dilakukan oleh suami ketika istri tidak memenuhi haknya.
2. Trauma masa kecil
Berani speak up berkaitan dengan trauma masa kecil. Tidak semua suami bisa menerima pendapat istri, terutama terkait haknya untuk mendapatkan nafkah yang cukup.
“Perempuan bisa protes pada suaminya, dan itu yang menjadikan kemudian ada perselisihan di dalam keluarga. Dan itu yang dilihat oleh anak-anak mereka, sehingga kemudian bisa jadi ada trauma,” kata perempuan yang akrab disapa Ayu ini.
Berkaitan dengan trauma masa kecil, ini tidak melulu soal ayah dan ibu bertengkar karena ibu berani speak up.
Ada pula trauma masa kecil karena ayah atau ibu melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, atau kasus lainnya yang lebih serius, sehingga membuat anak menganggap bahwa pernikahan adalah hal yang menakutkan.
3. Kisah buruk pernikahan di media sosial
Banyak orang memanfaatkan media sosial sebagai wadah untuk berbagi tentang kehidupannya, termasuk hal-hal sensitif seperti pengalaman menjadi korban KDRT, perselingkuhan, atau perceraian.
Niatnya speak up adalah untuk membuat orang-orang lebih waspada agar mereka tidak mengalami hal serupa. Namun, ini juga bisa membuat seseorang untuk mengamini narasi “marriage is scary”.
“Kalau dalam konteks mereka melihat bahwa menjadi bagian dari institusi perkawinan malah ternyata tidak membuat mereka lebih bahagia, sehingga kemudian muncul fenomena untuk kita memikirkan ulang terkait institusi perkawinan itu,” ujar Ayu.
Di satu sisi, media sosial memudahkan seseorang untuk berekspresi. Di sisi lain, seseorang bisa dengan bebas melihat pilihan hidup apa saja yang dipilih oleh orang lain, termasuk perihal pernikahan.
Aksesnya yang mudah memungkinkan orang lain untuk melihat kisah pernikahan yang tidak bahagia yang dibagikan oleh orang lain dan membuat audiens berpikir ulang terkait pernikahan, sehingga muncul fenomena “marriage is scary”.
4. Berita tentang KDRT dan pembunuhan
Menonton dan membaca berita tentang KDRT dan pembunuhan dalam rumah tangga juga bisa membuat seseorang menganggap bahwa pernikahan adalah sesuatu yang menyeramkan.
“Di era sekarang, berita sangat mudah diperoleh. Orang bisa mendapatkannya sambil nunggu kemacetan, scroll-scroll ada berita. Orang dengan mudah sekali terpapar dengan pengetahuan baru,” kata Ayu.
Sementara itu, dahulu berita hanya dapat diakses lewat koran, televisi, dan radio, yang mana tidak semua orang bisa meraihnya karena tidak dalam jangkauan.
Tidak semua orang pun bisa mengakses koran, televisi, dan radio karena berbagai faktor, termasuk faktor jarak dan finansial.
Mudahnya akses terhadap berita-berita seperti itu membuat seseorang memiliki banyak pandangan terkait pernikahan, termasuk fenomena “marriage is scary”.
Akan tetapi, saat terpapar berita dan konten seperti itu di media sosial, orang-orang yang lebih rentan terpengaruh adalah mereka yang sudah punya “bibit-bibitnya”.
“Bibitnya misalnya institusi keluarga yang tidak kuat, orang kemudian berpikir bahwa ada alternatif lain (tidak menikah). Kalau dari institusi keluarga yang kuat dan hangat, dia tidak akan terpikir ada alternatif untuk tidak berkeluarga,” jelas Ayu.
Fenomena “marriage is scary” bikin angka pernikahan menurun
Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) mengungkapkan bahwa fenomena “marriage is scary” membuat angka pernikahan menurun.
Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag Abu Rokhmad mengatakan, tren penurunan jumlah pernikahan sudah terjadi sejak tahun 2019.
Menurut pihaknya, pandangan seperti itu perlu diluruskan lantaran dapat menghambat lahirnya keluarga tangguh menuju Indonesia Emas 2045. Ditambah lagi, pernikahan tidak menakutkan jika dipersiapkan dengan baik.
“Ini tantangan bagi kita semua. Edukasi harus diberikan agar generasi muda memahami pernikahan secara benar,” kata Abu saat mewakili Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam Peringatan Milad ke-63 Wanita Islam di Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Berdasarkan catatan Kemenag, angka pernikahan turun dari 2.033.585 pada 2019, menjadi 1.780.346 pada 2020, 1.743.450 pada 2021, 1.719.592 pada 2022, 1.577.493 pada 2023, hingga 1.478.424 pada 2024.
Program strategis Kemenag
Menanggapi hal tersebut, Abu mengatakan bahwa pihaknya memperkuat program Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin (Bimwin).
Program tersebut membekali generasi muda dengan pengetahuan dan keterampilan hidup sebelum menikah. Materinya mencakup keterampilan komunikasi, pengelolaan keuangan keluarga, dan manajemen konflik.
“Dengan persiapan yang baik, perkawinan akan menjadi perjalanan menyenangkan, bukan menakutkan,” ujar dia.
Sumber: kompas.com