Bangkok: Meski suara tembakan di perbatasan Thailand–Kamboja telah senyap selama tiga pekan terakhir, kedua negara masih terlibat dalam perang kata-kata yang sengit. Tuduhan, propaganda, dan perang opini publik terus digulirkan demi mendapatkan simpati internasional sekaligus memperkuat dukungan di dalam negeri.
Dikutip dari BBC, Kamis, 21 Agustus 2025, banyak pengamat menilai Thailand kalah dalam pertempuran informasi ini. Kamboja dinilai lebih gesit, agresif, dan cerdas dalam memanfaatkan media, sementara pernyataan resmi dari Bangkok kerap dianggap kaku dan kurang terkoordinasi.

Ketegangan kembali meningkat sejak 24 Juli, ketika Kamboja menembakkan roket ke wilayah Thailand dan menewaskan sejumlah warga sipil. Militer Thailand membalas dengan serangan udara.
Namun, Kamboja melanjutkan ofensif di dunia maya. Media sosial dan saluran berita berbahasa Inggris yang dikuasai negara menyebarkan klaim-klaim, termasuk jatuhnya jet F-16 Thailand dan penggunaan gas beracun. Belakangan terbukti gambar-gambar itu berasal dari konflik di Ukraina dan kebakaran hutan di California. Thailand berusaha membantah melalui data resmi, namun pesan yang disampaikan dinilai tidak mampu menandingi narasi emosional yang dibangun Kamboja.
Situasi diperumit oleh politik domestik Thailand. Kebocoran percakapan pribadi antara Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dengan mantan pemimpin Kamboja Hun Sen, yang dipublikasikan oleh Hun Sen sendiri, menimbulkan krisis politik. Perdana Menteri Thailand akhirnya diskors oleh Mahkamah Konstitusi, melemahkan pemerintah di tengah krisis perbatasan.
Di sisi lain, Hun Sen yang kini secara formal menyerahkan kekuasaan kepada putranya Hun Manet tetap memainkan peran dominan. Ia menggunakan media sosial untuk menampilkan dirinya sebagai komandan perang, memperkuat citra nasionalis Kamboja.
Sengketa hukum internasional
Kamboja mendorong agar konflik dibawa ke forum internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Internasional (ICJ). Thailand menolak, dengan alasan tidak mengakui yurisdiksi ICJ, sekaligus menghindari luka lama.
Ingatan pahit Thailand terkait putusan ICJ tahun 1962, yang menyerahkan kuil Preah Vihear kepada Kamboja, masih membekas. Kekalahan itu dianggap mencederai harga diri nasional, sehingga pemerintah Thailand enggan membuka peluang kasus serupa terulang.
Isu baru yang memanaskan situasi adalah tuduhan Thailand bahwa Kamboja menanam ranjau anti-personel di perbatasan. Padahal kedua negara telah meratifikasi Konvensi Ottawa yang melarang penggunaannya.
Thailand bahkan membawa jurnalis dan diplomat untuk menyaksikan ranjau-ranjau PMN-2 buatan Rusia yang disebut baru ditemukan. Kamboja awalnya menolak tuduhan itu dengan alasan ranjau berasal dari era 1980-an, namun bukti visual menunjukkan sebagian ranjau tampak baru.
Sebaliknya, Kamboja menuduh Thailand menggunakan amunisi cluster dan fosfor putih, yang memang tidak dilarang tetapi tetap berisiko tinggi terhadap warga sipil. Kamboja juga menuding kuil Preah Vihear mengalami kerusakan akibat tembakan Thailand, klaim yang dibantah oleh Bangkok.
Perselisihan ini memperkuat posisi Hun Sen dan putranya sebagai pelindung kedaulatan nasional. Namun, bagi Thailand, konflik justru memperlemah stabilitas politik internal.
Di tingkat sosial, ketegangan memperuncing sentimen nasionalis di kedua negara. Ratusan ribu pekerja migran Kamboja dilaporkan meninggalkan Thailand, menambah tekanan bagi perekonomian Kamboja yang sudah rapuh.
“Bagi kedua belah pihak, perbatasan bukan sekadar garis geografis, tetapi simbol identitas nasional. Itulah sebabnya tidak ada yang berani mundur,” ujar penulis dan pengamat Asia Tenggara, Sebastian Strangio.
Sumber: metrotvnews.com