SEBUAH bangunan pencakar langit yang terinspirasi seni melipat kertas khas Jepang, origami, berhasil memenangkan kompetisi desain arsitektur terbaik di dunia.
Gedung yang bernama Skyshelter.zip itu mengusung struktur konstruksi lipat, yang benar-benar dapat dilipat dalam arti sesungguhnya.

Ketika dilipat, bangunan pencakar langit tersebut dapat dipindahkan dengan bantuan helikopter ke daerah-daerah bencana, untuk kemudian difungsikan sebagai penampungan sementara.
Dikutip dari Independent.co.uk pada Senin (23/4/2018), bangunan lipat ini bahkan dapat dilabuhkan di atas tanah yang kondisinya tidak stabil, dan segera membangunnya dengan dorongan balon helium raksasa yang ada di dalamnya.
Desain pemenang kompetisi Kompetisi Pencakar Langit 2018 yang digelar oleh majalah eVolo itu dirancang oleh kolaborasi tiga mahasiswa arsitektur asal Polandia, yakni Damian Granosik, Jakub Kulisa dan Piotr Pańczyk.
Sebuah bangunan pencakar langit yang terinspirasi seni melipat kertas khas Jepang, origami, berhasil memenangkan kompetisi desain arsitektur terbaik di dunia.
Gedung yang bernama Skyshelter.zip itu mengusung struktur konstruksi lipat, yang benar-benar dapat dilipat dalam arti sesungguhnya.
Ketika dilipat, bangunan pencakar langit tersebut dapat dipindahkan dengan bantuan helikopter ke daerah-daerah bencana, untuk kemudian difungsikan sebagai penampungan sementara.
Dikutip dari Independent.co.uk pada Senin (23/4/2018), bangunan lipat ini bahkan dapat dilabuhkan di atas tanah yang kondisinya tidak stabil, dan segera membangunnya dengan dorongan balon helium raksasa yang ada di dalamnya.
Desain pemenang kompetisi Kompetisi Pencakar Langit 2018 yang digelar oleh majalah eVolo itu dirancang oleh kolaborasi tiga mahasiswa arsitektur asal Polandia, yakni Damian Granosik, Jakub Kulisa dan Piotr Pańczyk.
Sementara itu, duduk di posisi kedua adalah Tonly Leung, seorang mahasiswa arsitektur asal Hong Kong, dengan kreasi rancang bangunnya yang bertajuk Shinto Shrine Skyscraper.
Rancangan tersebut berusaha mengembalikan interaksi tradisional antara Kuil Shinto, dan padatnya mobilitas manusia di kawasan Ginza, Tokyo.
Bangunan tersebut juga dimaksudkan sebagai pusat kegiatan untuk pertanian urban, area meditasi, dan pengembangan komunitas-komunitas lokal.
Adapun di posisi ketiga, bertengger Claudio Araya Arias dari Chile, dengan mengusung desain Waria Lemuy: Pilar Pencegah Kebakaran.
Desain ini merupakan usulan perumahan vertikal dengan kearifan lokal, yang dapat dibangun di atas lahan-lahan rusak akibat bencana kebakaran hutan.
Proyek ini memanfaatkan sistem pasif untuk mengurangi angin, sekaligus menyiramkan lebih banyak air, ketika muncul potensi kebakaran.
Beberapa desain lain yang turut dipuji adalah bangunan yang bisa bantu mencegah fenomena penggurunan, hotel mengapung yang mengubah air laut menjadi air tawar, menara pengumpul kabut di daerah kering, dan masih banyak lainnya.
***
Sumber : Independent.co.uk
Foto : liputan6