Menu

Dark Mode
Satelit Nusantara Lima Meluncur September, Hubungkan Ribuan Pulau RI ChatGPT Aplikasi No. 1 di App Store, Elon Musk Marah dan Ancam Tuntut Apple MenLH : Indonesia Komitmen Tangani Polusi Plastik Fitur Baru WhatsApp Bisnis di Indonesia, Bisa Telepon Pelanggan Langsung Qatar-Turki Ajukan Proposal Gencatan Senjata ke Hamas, Apa Isinya? Canangkan Zona Integritas, Dinkes Kota Depok Gelar Deklarasi Bersama

Kabar Dunia

Angola Negara Kaya Minyak yang Rakyatnya Miskin dan Kelaparan

badge-check


					Sejumlah perempuan membawa barang-barang saat penjarahan meletus di distrik Kalemba 2, Luanda, Angola, pada Senin (28/7/2025), dalam aksi mogok oleh sopir taksi selama tiga hari untuk memprotes kenaikan harga bahan bakar. Penjarahan terjadi setelah sekitar 2.000 orang berunjuk rasa untuk memprotes kenaikan harga bahan bakar dan biaya transportasi.(AFP) Perbesar

Sejumlah perempuan membawa barang-barang saat penjarahan meletus di distrik Kalemba 2, Luanda, Angola, pada Senin (28/7/2025), dalam aksi mogok oleh sopir taksi selama tiga hari untuk memprotes kenaikan harga bahan bakar. Penjarahan terjadi setelah sekitar 2.000 orang berunjuk rasa untuk memprotes kenaikan harga bahan bakar dan biaya transportasi.(AFP)

Dua momen tragis membekas kuat dalam ingatan Julio Candero, aktivis hak asasi manusia asal Angola, dan gambar seorang perempuan tertembak dari belakang oleh polisi, serta teriakan temos fome atau “kami lapar” dari para demonstran.  Kedua peristiwa itu mencerminkan puncak kemarahan rakyat Angola terhadap pemerintah, yang mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan ini memicu demonstrasi besar-besaran yang pecah sejak awal Juli 2025. 

Dikutip dari Al Jazeera, Selasa (5/8/2025), aksi protes bermula dari pengumuman pemerintah mengenai kenaikan harga solar sebesar 33 persen. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari paket penghematan fiskal, yang disusun menyusul desakan Dana Moneter Internasional (IMF) agar Angola memangkas pengeluaran, termasuk subsidi BBM. 

Demonstrasi awalnya berlangsung damai pada 12 Juli 2025, tetapi ketegangan meningkat setelah asosiasi sopir taksi melancarkan mogok nasional selama tiga hari. Aksi kemudian berubah menjadi kerusuhan di berbagai kota besar, dengan pembakaran ban dan penjarahan toko.

Pemerintah melaporkan sedikitnya 22 orang tewas dalam bentrokan antara massa dan polisi. Sebanyak 197 orang terluka, sedangkan lebih dari 1.200 orang ditangkap. 

“Ini salah satu kerusuhan terburuk sejak kudeta 1977 dan kekerasan pasca-pemilu 1992,” kata Candero, yang kini menjabat sebagai Direktur LSM Mosaiko. 

Ketegangan mulai mereda di Ibu Kota Luanda dan sejumlah wilayah lain. Meski begitu, suasana belum sepenuhnya pulih.  Aparat bersenjata lengkap masih berjaga di sejumlah titik, sedangkan puing-puing kendaraan dan bangunan yang terbakar menjadi saksi bisu amarah warga. 

“Luanda perlahan kembali ke ritme biasanya, tapi jelas ini adalah kota yang berbeda. Di mana-mana ada jejak dari apa yang terjadi,” ucap Candero.

Negara kaya minyak, rakyat miskin

Angola merupakan negara produsen minyak ketiga terbesar di Afrika. Namun, hanya 30 persen kebutuhan domestik yang bisa dipenuhi melalui satu-satunya kilang tua peninggalan kolonial. Kondisi fiskal Angola diperparah dengan penurunan harga minyak Brent yang jatuh di bawah 60 dollar AS per barel pada April, sedangkan anggaran 2025 disusun dengan asumsi harga 70 dollar AS per barel. 

Menurut Menteri Koordinasi Ekonomi Jose de Lima Massano, subsidi BBM tahun lalu mencapai 3 miliar dollar AS (sekitar Rp 48 triliun). Anggaran tersebut setara dengan dana untuk 1.400 proyek pembangunan, tetapi karena keterbatasan fiskal, sekitar 500 proyek terpaksa ditunda.

Carlos Rosado de Carvalho, profesor ekonomi di Universitas Katolik Angola, menyebut pencabutan subsidi sebagai keputusan yang terpaksa, meskipun waktunya sangat tidak tepat.

“Kenaikan harga bahan bakar terjadi bersamaan dengan kenaikan tarif listrik dan air yang masing-masing naik 50 persen dan 30 persen,” ujarnya. 

Carvalho menambahkan bahwa pada Juli 2025, upah minimum nasional hanya mampu mencukupi sekitar 66 persen dari kebutuhan dasar rumah tangga. 

Ketimpangan dan korupsi jadi akar masalah

Meski kaya sumber daya alam, sebagian besar rakyat Angola tak menikmati hasilnya. Sekitar 60 persen pendapatan negara dan 95 persen ekspor berasal dari minyak, tetapi manfaatnya belum menyentuh rakyat kecil. 

Candero menuding korupsi sebagai biang keladi utama. 

“Rakyat Angola tidak merasakan kekayaan negaranya karena korupsi. Seperti banyak negara kaya sumber daya di Afrika, rakyat kami justru hidup dalam kesengsaraan,” katanya.

“Pemerintah seharusnya mulai dengan menghentikan pembelian mobil mewah dan perjalanan pejabat. Bukan mencabut kebutuhan pokok rakyat,” ujar Candero. 

Pemerintah berdalih harga BBM di Angola terlalu murah sehingga kerap diselundupkan ke negara tetangga. Namun, menurut Candero, alasan tersebut tidak bisa membenarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. 

Attiya Waris, pakar pembangunan dari Universitas Nairobi sekaligus pelapor independen PBB untuk isu utang luar negeri, memperingatkan dampak sosial dari pencabutan subsidi. 

Dalam laporannya, Waris menyebut penghapusan subsidi berisiko menaikkan inflasi pangan dan memperburuk ketimpangan sosial.

Ia menyoroti kenaikan harga telur yang melonjak hingga 400 persen. Di sisi lain, biaya transportasi harian kini mencapai 4.000 kwanza (Rp 71.000), melebihi penghasilan harian 53 persen warga Angola. 

Sebanyak 31 persen warga bahkan hidup di bawah ambang kemiskinan ekstrem, yaitu dengan penghasilan kurang dari 2,15 dollar AS per hari (sekitar Rp 34.000).

Bank Dunia turut mengingatkan bahwa pencabutan subsidi bisa berdampak negatif terhadap sektor perikanan, pertanian, hingga ketahanan pangan. 

Dalam artikel blog resminya, Bank Dunia menyarankan penghapusan subsidi dilakukan secara bertahap dan disertai bantuan langsung tunai untuk kelompok terdampak. Namun, mereka juga mencatat bahwa subsidi BBM kerap dinikmati kelompok ekonomi atas.

Kritik atas penanganan demonstrasi

Human Rights Watch (HRW) mengecam penanganan demonstrasi yang dianggap represif. Polisi disebut menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa pada 12 Juli.

“Warga Angola seharusnya dapat memprotes kebijakan secara damai tanpa menghadapi kekerasan dan pelanggaran hak-hak dasar,” ujar Ashwanee Budoo-Scholtz, Wakil Direktur HRW untuk Afrika. 

Namun, Presiden Angola Joao Lourenco tetap membela aparat. Dalam pidato kenegaraan pekan lalu, ia menegaskan bahwa polisi telah bertindak sesuai tugas dan menyerukan persatuan nasional, seiring peringatan 50 tahun kemerdekaan.

Pernyataan itu ditanggapi dingin oleh Candero. 

“Kenaikan biaya hidup hampir pasti akan memicu lebih banyak protes,” katanya. 

Bagi sebagian warga Angola, protes adalah bentuk keputusasaan. Bagi yang lain, itu adalah satu-satunya cara untuk menarik perhatian pemerintah terhadap penderitaan mereka.

“Anak-anak muda dari permukiman miskin akan terus berjuang hingga kelaparan mereda. Ini hanyalah gejala. Selama akar masalahnya tidak diselesaikan, unjuk rasa tidak akan berhenti,” kata Candero. 

“Ini adalah seruan dari rakyat yang lapar, demi sepotong roti dan sedikit martabat,” pungkasnya.

Sumber: kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

MenLH : Indonesia Komitmen Tangani Polusi Plastik

13 August 2025 - 15:34 WIB

Qatar-Turki Ajukan Proposal Gencatan Senjata ke Hamas, Apa Isinya?

13 August 2025 - 14:21 WIB

PBB Kritik Izin Keamanan Israel yang Bikin Lambat Bantuan Masuk Gaza

13 August 2025 - 10:29 WIB

RI Mau Ikut Tampung Pengungsi Gaza

13 August 2025 - 10:22 WIB

Makin Banyak Negara Siap Akui Palestina sampai Thailand-Kamboja Tegang

13 August 2025 - 09:41 WIB

Trending on Kabar Dunia