Tren bertahan di satu pekerjaan demi rasa aman, atau disebut job hugging, kini semakin terasa di banyak perusahaan.
Fenomena ini muncul setelah pasar tenaga kerja melambat dan kekhawatiran terkait kondisi ekonomi meningkat.

“Tren PHK yang muncul setelah masa pemulihan dari periode Covid 2020, justru memperparah kurangnya keamanan di pasar kerja yang sudah terdampak,” kata Jennifer Schielke, CEO dan salah satu pendiri Summit Group Solutions, dilansir dari Forbes, Jumat (19/9/2025).
Ia juga mengatakan bahwa job hugging menciptakan ilusi loyalitas, tapi sebenarnya stagnasi.
Mengapa job hugging terjadi
Menurut Bryan Robinson, Ph.D, banyak pekerja, terutama generasi Z, memilih bertahan bukan karena merasa berkembang, melainkan demi keamanan finansial.
Lonjakan harga, gelombang PHK, dan ketidakpastian ekonomi membuat banyak orang khawatir kehilangan penghasilan.
Robinson menyebut, ketakutan ini berdampak lebih besar pada kesehatan mental daripada kehilangan pekerjaan itu sendiri.
Schielke menambahkan, orang merasa mempertahankan pekerjaan adalah langkah paling logis untuk stabilitas.
“Laporan tenaga kerja, keterbatasan anggaran, dan kekhawatiran yang terus menerus memasuki ruang kerja kita, mempertahankan apa yang kita miliki tampaknya menjadi langkah logis untuk stabilitas dan keamanan,” kata Schielke.
Tanda-tanda job hugging di tempat kerja
Schielke menyebut beberapa tanda job hugging yang bisa dikenali, di antaranya stres meningkat dan memengaruhi suasana hati tim.
Selain itu, perubahan kinerja, misalnya karyawan hanya fokus pada tugas yang dikuasai agar terlihat menonjol.
Kemudian, karyawan yang mau membantu di tugas atau peran lain yang mendukung tim, asalkan pekerjaan utama mereka sendiri tetap berjalan baik.
Lebih lanjut, karyawan yang enggan pindah peran atau mencoba peluang baru, meski sudah melampaui posisi saat ini.
Cara perusahaan mengatasi job hugging
Tara Ceranic Salinas, profesor etika bisnis dan ketua departemen manajemen di Knauss School of Business, University of San Diego setuju bahwa ketika perusahaan tidak menanggapi kekhawatiran dan frustasi yang terjadi pada karyawan, hasilnya akan merugikan.
Ia mengungkap beberapa cara yang bisa dilakukan perusahaan untuk mengatasi job hugging.
1. Evaluasi dan dengarkan karyawan
Salinas menyarankan perusahaan rutin memberi kesempatan feedback atau masukan jujur untuk mengikuti perkembangan dalam menunjukkan tindakan yang diambil untuk menanggapi masukan tersebut.
Schielke juga menekankan pentingnya para pemimpin memberi kesempatan untuk berinteraksi dengan tim dan paham pada ketakutan, kebutuhan, dan motivasi mereka.
2. Investasi pada pertumbuhan
Tunjukkan bahwa perusahaan peduli pada pengembangan karier karyawan, baik di dalam maupun luar perusahaan.
Menurut Schielke, pelatihan tambahan, mentoring, atau jalur pengembangan karier membuat karyawan merasa dihargai dan tidak merasa terjebak.
3. Kembalikan fleksibilitas kerja
“Fleksibilitas baru-baru ini dihapus dari tempat kerja dengan kembalinya wajib ke kantor, tapi kita tahu betapa tidak bahagianya hal itu bagi karyawan,” tutur Salinas.
Perusahaan yang mau menerapkan jadwal kerja fleksibel atau sistem hybrid menunjukkan kepedulian pada kebutuhan karyawan.
4. Jadilah contoh yang berempati
Salinas menyarankan pemimpin untuk berbagi pengalaman pribadi dan tantangan yang mereka hadapi. Saran Schielke, mengadakan sesi tanya jawab santai, misalnya obrolan pagi atau rapat harian, agar karyawan merasa didengar.
5. Jelaskan visi perusahaan
Penting untuk menyampaikan arah perusahaan dan bagaimana setiap peran mendukung tujuan tersebut.
Pemahaman ini membantu karyawan merasa terhubung dengan misi besar perusahaan.
Apa yang bisa dilakukan karyawan?
Schielke menekankan, berdiam diri karena takut bukan alasan sehat untuk bertahan. Ia menyarankan karyawan untuk mulai merencanakan langkah karier berikutnya dengan menilai apa yang terasa tidak memuaskan.
Lalu, berdiskusi dengan atasan untuk mencari peluang baru agar mendapat pandangan objektif serta dukungan dalam mengambil keputusan.
Salinas menambahkan, coba untuk mempelajari peran lain yang menarik di dalam perusahaan dan identifikasi keterampilan yang perlu ditingkatkan.
Mengikuti pelatihan, kursus, atau sertifikasi dapat membantu menyiapkan diri untuk peran baru.
“Intinya, saya percaya apa yang terbaik bagi individu akan menjadi yang terbaik bagi perusahaan,” pungkas Schielke.
Sumber: kompas.com